Home > Dari Redaksi > Moot Court sebagai Sarana Belajar

Moot Court sebagai Sarana Belajar

Apa itu moot court? Bagi mereka yang awam dan bukan mahasiswa Fakultas Hukum, mungkin belum pernah mendengar istilah ini. Secara etimologis, ”moot” dapat diartikan sebagai “dapat diperdebatkan” atau “semu,” dan “court” dapat diartikan sebagai “pengadilan/peradilan.” Dengan demikian, apabila dirangkaikan, “moot court” dapat berarti “peradilan yang dapat diperdebatkan.” Dalam perkembangannya sekarang ini, moot court dikenal sebagai peradilan semu.

Moot court memberikan tambahan belajar bagi mahasiswa Fakultas Hukum untuk mengembangkan diri, terutama perwujudan konkrit dari matakuliah-matakuliah hukum acara. Meskipun belum sepenuhnya benar, tapi proses belajar yang dialami mahasiswa (baca: undergraduate student) dapat diupayakan untuk mengerti lebih jauh mengenai kebiasaan-kebiasaan praktek beracara. Tugas hakim, jaksa, penasehat hukum, dan bahkan kedudukan terdakwa serta saksi-saksi di pengadilan menarik untuk digali dan dicerna sisi-sisi ilmiahnya. Mahasiswa yang belajar di dalam moot court mencernakan pelajaran yang ia dapat selama kuliah, menganalisis kasus dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh penegak hukum dalam upaya menangani kasus-kasus. Tentu saja dengan demikian moot court sendiri memberikan peluang bagi mahasiswa untuk berkarya, mencoba-coba, dan sekaligus “pura-pura” menjadi penegak hukum sesungguhnya. Mereka dapat menjadi hakim, jaksa, penasehat hukum, dan bahkan saksi dan terdakwa dalam suatu acara pengadilan.

Moot court juga berisi mengenai perdebatan-perdebatan akademis mengenai telaah kasus-kasus fiksi dan nonfiksi yang dilihat berdasarkan analisis dalam kerangka yuridis normatif berdasarkan teori-teori hukum yang mahasiswa dapatkan selama kuliah. Perlahan tapi pasti mahasiswa diperhadapkan pada tataran ideal kekuatan peradilan yang dapat memutus perkara mengenai berbagai kasus yang terjadi. Kemampuan untuk membuat atau praktek membuat berkas-berkas yang diperlukan untuk beracara di pengadilan dipertaruhkan bagi mahasiswa Fakultas Hukum di dalam moot court. Surat dakwaan, surat tuntutan, putusan hakim, pembelaan, adalah beberapa di antara berbagai berkas yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan acara peradilan.

Melihat praktek peradilan di Indonesia, seakan-akan hanya sebagai formalitas belaka. Mengapa demikian? Tata cara peradilan di Indonesia secara umum dan bukan rahasia lagi hanya sebagai pepesan kosong yang seakan-akan baik dan benar, namun ternyata jauh dari harapan publik. Masih segar dalam ingatan kita ketika kasus korupsi Akbar Tanjung yang senilai milliaran rupiah lolos dari hukuman atau kasus korupsi di DPRD yang marak di berbagai daerah, berakhir dengan putusan bebas dan/atau cuma hukuman ringan. Padahal, melihat dampak yang diakibatkan oleh praktek-praktek korupsi, hukuman yang pantas dan efek jera tidak dikenakan kepada mereka yang pantas mendapatkannya, bahkan diperparah pula dengan penerapan hukum yang salah pada pertimbangan putusan-putusan hakim dan jenis sanksi yang dikenakan.

Atau kasus riil di Kota Salatiga adalah mengenai kasus pengadaan buku pelajaran Balai Pustaka yang sampai sekarang tidak pernah selesai. Hal ini menarik karena berbagai kepentingan yang melekat dalam penanganan kasus dan upaya penyelesaiannya yang kabur. Kekuatan hukum seakan-akan hanya berupa pedang tajam tanpa pernah digunakan sebagai senjata ampuh untuk menjerat mereka yang terlibat dalam kasus tersebut. Apalagi hukum jadi melunak bilamana diperhadapkan dengan pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan dan kepentingan money politic.

Namun, bukan tanpa alasan pula mereka yang menjadi penegak hukum berbuat menyimpang dari apa yang dicita-citakan sebagai pengadilan yang bersih dan tidak memihak. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman, ternyata belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman. Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis, dan inkonsistensi konstitusi satu dengan lainnya. Banyak kelemahan yang ditemukan dan tiadanya mekanisme pengawasan yang baik oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan lembaga lainnya yang berfungsi sebagai control unit yang baik. Peraturan-peraturan yang mengandung kelemahan diantaranya karena mengandung multitafsir dan tidak bisa dilakukan enforcement, sementara mekanisme berbagai peraturan perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.

Pada titik tertentu, peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh memengaruhi dan/atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.

Hadirnya moot court sebagai sarana belajar (dalam konstruksi akademis) menjadi bahan olok-olok dalam melihat praktek-praktek peradilan di Indonesia. Adalah hal yang tabu bagi mahasiswa untuk memperlihatkan sesuatu yang tidak benar di hadapan hukum. Secara umum, moot court memberikan gambaran ideal yang perlu untuk ditanamkan semenjak dini mengenai peradilan yang bersih dan berwibawa. Dengan demikian, apa yang ideal yang ditanamkan kepada generasi penerus penegak hukum di Indonesia tersebut dapat membantu perbaikan pelaksanaan peradilan di Indonesia masa depan.

Harapan untuk menjadikan moot court sebagai sarana belajar bagi mahasiswa yang representatif adalah harapan saya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. Dukungan semua pihak dalam pengembangan sarana belajar ini. Perhatian dari kampus dan lembaga lainnya, seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat, atau pengadilan negeri, atau kejaksaan negeri serta organisasi advokat dan kepolisian dapat memberikan semangat lebih bagi pembentukan karakter lulusan Fakultas Hukum yang berwibawa dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.

(set)

dimuat juga di scientiarum uksw

Categories: Dari Redaksi
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment